![]() |
"Contoh Praktek Konseling di Kelas Mahasiswa prodi BKPI Universitas Bunga Bangsa Cirebon"/Foto : Fitri Meliani |
RADARDETIK.ID – Generasi Z merupakan generasi yang mengacu pada generasi yang lahir antara tahun 1997 dan 2012. Mereka adalah generasi pertama yang dibesarkan sepenuhnya dengan internet dan telepon pintar (Smart Phone) dan tumbuh dengan pengalaman dunia yang sangat berbeda dibandingkan generasi sebelumnya.
Dari referensi yang lain Generasi Z terdiri dari orang-orang yang lahir setelah tahun 1995. Tanpa komputer dan ponsel, mereka tidak bisa mengenal dunia. Mereka berusia dari remaja hingga dewasa awal. Mereka telah menggunakan perangkat dan teknologi sejak kecil dan telah menggunakannya di hampir semua aspek gaya hidup dan kehidupan sosial mereka. Mereka adalah pelanggan yang cerdas yang tahu apa yang mereka inginkan dan bagaimana mendapatkankannya.
Gen Z mencari dan mandapat informasi dengan mudah, namun hal itu tidak sebanding dengan kecepatan mereka menyaring informasi yang valid. Maka mereka masih membutuhkan bimbingan dari orang dewasa di sekitar untuk membantu mengembangkan keterampilan tersebut (Żarczyńska-Dobiesz, Chomątowska, 2014, hlm. 407).
Jika teknologi membantu industri bagi generasi sebelumnya, Gen Z menganggapnya sebagai disrupsi. Salah satu disrupsi yang disebabkan oleh teknologi adalah pasar kerja mereka, di mana robot atau A.I. mulai menggantikan pekerjaan yang ada.
Gen Z memiliki berbagai kerentanan mental. Dalam beberapa tahun terakhir, masalah mental seperti depresi, pelecehan online, kecanduan game, ketergantungan pornografi, dan angka bunuh diri telah meningkat. Menurut (Stillman, 2019), ada tujuh ciri-ciri utama dari Gen Z:
1. Figital, merupakan kemampuan untuk menggabungkan elemen digital dan fisik dalam hal konsumsi, hidup, dan bekerja.
2. Hiper-kustomisasi, yaitu selalu berusaha untuk mengubah identitas mereka dan menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitar mereka.
3. Realistis, membentuk cara berpikir pragmatis dalam merencanakan dan mempersiapkan masa depan karena telah mengalami masa krisis sejak kecil.
4. FOMO (fear of missing out), sangat khawatir tentang kekurangan informasi. Mereka selalu menjadi yang terdepan dalam trend dan persaingan. Namun, ada berita buruk tentang mereka karena mereka khawatir jika mereka bergerak lebih lambat atau tidak menuju ke arah yang benar.
5. Weconomist, keadaan dimana Gen Z hanya mengenal ekonomi berbagi dan memaksa kantor untuk memilah komponen internal dan eksternal untuk mendayagunakan strategi bisnis baru yang efisien dan hemat biaya.
6. DIY (do it yourself), yaitu Gen Z, yang tumbuh dalam lingkungan internet, terutama YouTube, memiliki kemampuan untuk mengajari mereka melakukan apa saja. Gen Z sangat mandiri, dan mereka akan berbenturan dengan budaya kolektif yang telah diperjuangkan oleh generasi Millennials sebelumnya, dan
7. Terpacu, yaitu Gen Z percaya bahwa ada pemenang dan pecundang. Gen Z adalah generasi yang terpacu karena resesi dan laju perubahan yang lambat.
Gen Z tidak pernah lepas dari gawai karena FOMO. Semakin banyak penggunaan media sosial akan meningkatkan kecemasan, stres, depresi, dan bahkan kemungkinan bunuh diri (Jayatissa, 2023). Hal ini disebabkan fakta bahwa Generasi Z cenderung menghabiskan sebagian besar waktunya di internet. Di sana, semua tampak sempurna, dan keinginan untuk bisa seperti orang-orang yang mereka ikuti di media sosial muncul. Selain itu, ada banyak aktivitas online lainnya yang dapat menyebabkan adiksi.
Permasalahan yang lebih kompleks, seperti gangguan emosional dan agresifitas, dapat muncul dari adiksi yang tidak ditangani. Fenomena penurunan kesehatan mental Gen Z juga didukung oleh penelitian yang telah dilakukan oleh Zaman (2024). Dalam penelitian tersebut, diketahui bahwa masyarakat dan pemerintah masih belum menganggap kasus kesehatan mental dengan serius.
Meskipun demikian, evaluasi hasil dari penelantaran akan berdampak pada kemajuan negara, terutama di bidang ekonomi. Hal yang demikian juga dapat menebarkan keresahan di kalangan masyarakat sendiri.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Ayuningtyas, D., Misnaniarti, M., & Rayhani, M. (2018), Terbukti bahwa keterlibatan masyarakat dalam membangun komunitas yang sehat mental membantu profesional kesehatan mental dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan mental.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Dolot (2018) menyatakan bahwa Tantangan tambahan adalah stigma yang salah tentang gangguan jiwa, yang menghambat layanan kesehatan dan menyebabkan penanganan yang salah.
Seperti laporan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Indonesia (2018) yang menunjukkan betapa buruknya orang Indonesia menangani orang dengan gangguan kesehatan jiwa. Lebih dari 57.000 orang dengan disabilitas psikososial (kondisi kesehatan mental) pernah dipasung setidaknya sekali dalam hidup mereka. Diharapkan bahwa para pemangku kebijakan dapat membuat strategi dan kebijakan yang memenuhi harapan dan nilai Gen Z sambil memanfaatkan kekuatan dan potensi mereka sebagai calon pemimpin di masa depan dengan memahami sifat dan kebutuhan Gen Z.
Penulis : Fitri Meliani,S.Psi.,M.Si
Dosen prodi BKPI Universitas Islam Bunga Bangsa Cirebon